Pengaruh
Ketokohan Syekh Ibrahim Musa
Dalam
Memajukan Parabek
Syekh Ibrahim Musa dilahirkan di
Parabek, Bukittinggi pada tahun 1882. Setelah belajar pada beberapa perguruan,
pada umur 18 tahun ia berangkat ke Mekah dan belajar di negeri itu selama 8
tahun. Ia kembali ke Minangkabau pada tahun 1909 dan mulai mengajar pada tahun
1912. kemudian ia berangkat lagi ke Mekah pada tahun berikutnya dan kembali
pada tahun 1915. Saat itu ia telah mendapat gelar Syekh Ibrahim Musa atau
Inyiak Parabek sebagai pengakuan tentang ilmu agamanya.
Ketika kembali
ke Minangkabau, Inyiak Parabek mendirikan Sumatera
Thawalib di Parabek, Inyiak Karim Amarullah (orang tua Buya Hamka) mendirikan Thawalib
di Padang
Panjang. Berdirinya Madrasah tahun 1910 dimulai dengan halaqah di
Parabek. Lama pendidikannya variatif bahkan ada yang mencapai 11 tahun. Namun
sejak tahun 1980 sampai sekarang menjadi 6 tahun. Bedanya, sekarang ada
pendidikan Takhashus. Jadi murid Parabek yang telah tamat tapi merasa belum
puas dengan ilmunya bisa menambah pendidikan non formal.
Syeikh Ibrahim Musa
Parabek sebagai pendidik dan pembangun umat Islam di Minangkabau, beliau tidak
pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat antara kaum tradisi di Minangkabau.
Di segi lain dapat dilihat bahwa Syeikh Ibrahim Musa berperan sebagai ulama,
yaitu orang yang mempunyai ilmu pengetahuan, mengamalkannya, tampil sebagai
panutan bagi masyarakat lingkungan juga tampil sebagai tokoh teladan serta
disegani oleh umat.
Profil Syeikh Ibrahim
Musa Parabek sebagai ulama kharismatik, da’i yang disegani, pendidik yang
panutan, pejuang kemerdekaan yang gigih dan tokoh akomudatif serta tokoh
pemersatu dua kelompok yang berseberangan di Minangkabau, yang mengharumkan
nama Minangkabau di pentas Nasional.
serangkai
pembaharu dan pembangun Islam pertama di Minangkabau yaitu Syekh Muhammad
Djamil Jambek (1860), Haji Abdullah Ahmad (1878) dan Syekh Abdul Karim
Amarullah (1879), berbeda dengan ketiga tokoh pembaharu ini, Syekh Ibrahim Musa
juga diterima oleh golongan tradisi meskipun ia adalah seorang ulama pendukung
pembaharuan bahkan ikut aktif dalam gerakan tersebut.
Ia seorang ulama dan
pembaharu yang sangat berjasa dalam pembangunan Islam di Minangkabau. Dalam
usaha pembaharuan dan dakwah yang beliau laksanakan, mempunyai prinsip yang
mendasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan agama yang beliau tanamkan kepada
murid-muridnya, tidak hanya memfokuskan kepada satu mazhab atau satu aliran
saja.
“Prinsip dalam mengembangkan pengetahuan agama
yang beliau tanamkan kepada murid-muridnya ialah tidak boleh menutup mata pada
satu mazhab saja, tapiboleh mengambil yang lain sebagai studi perbandingan,
prinsip yang merupakan slogan itu dilukiskan dalam ijazah Sumatera Thawalib,
matangkan satu-satu lalu ambil yang lain untuk jadi perbandingan dan jangan
menutup diri pada satu mazhab saja.
Selain itu dakwahnya
cukup menonjol dalam perubahan sosial dan keagamaan yang cukup mempunyai daya
terobos dalam perubahan tingkah laku masyarakat, ini terbukti dalam kegiatan
dakwah beliau dalam bentuk pola berintegrasi dalam segala kegiatan-kegiatan
masyarakat, yang boleh dipandang sebagai posisi strategi dalam menegakkan
dakwah Islamiyah itu, seperti tidak menutup mata terhadap pendidikan jasmani,
menggalakkan olahraga bola kaki, badminton dan lain sebagainya, bahkan
persatuan olah raga ini langsung beliau pimpin dan sering juara pada tingkat
Sumatera Barat pada waktu itu.
Selain kegiatan olah
raga juga ia tidak ketinggalan dalam gerakan kepanduan/ pramuka Islam yang ia
beri nama dengan al-Hilal
(bulan sabit) yang bersimbol kacu merah biru berlambang keris terhunus,
pandu-pandu ini dikerahkan pada usaha-usaha pertanian yang hasilnya untuk
peningkatan berkoperasi dan perekonomian masyarakat.
Di samping itu pembaharuan
dakwah yang ia kembangkan adalah aktif dalam berbagai organisasi, baik
organisasi pembaharuan maupun organisasi yang dibentuk oleh kelompok yang tidak
menyetujui pembaharuan terhadap agama. Syekh Ibrahim Musa, selain aktif dalam
persatuan Sumatera Thawalib, beliau juga aktif dalam organisasi PGAI organisasi
pembaharuan dan ittihad al Ulama, organisasi kaum penentang pembaharuan,
beliau juga pernah menjadi dosen ilmu-ilmu agama di perguruan tinggi PGAI di
Padang tahun 1940. Pada tahun 1953 beliau diangkat menjadi Presiden Universitas
Darul Hikmah di Bukittinggi, di zaman Jepang beliau ikut menjadi salah seorang
pemimpin Majlis Islam Tinggi (MIT). Pada masa revolusi 1945 beliau menjadi Imam
Jihad tentara Sabilillah kemudian menjadi Dwi Tunggal Majlis Permusyawaratan
Ulama Indonesia bersama Syekh Sulaiman al-Rasuli, seorang tokoh dari kalangan
tradisi yang juga murid Ahmad Khatib, jabatannya yang terakhir adalah anggota
konstituante hasil pemilihan 1953.
Konsep
Syekh Ibrahim Musa Parabek sebagai pendidik dan pembangun umat Islam di
Minangkabau, tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat antara kaum
tradisi di Minangkabau, sehingga Syekh Sulaiman al-Rasuli tokoh kaum tradisi
pernah mengatakan bahwa ia dan Syekh Ibrahim Musa adalah sehaluan.
Sebagai guru, Syekh
Ibrahim Musa dalam menghadapi murid-murid, ia terkenal selalu mengembangkan
kreativitas muzakarah/diskusi baik dalam kelas maupun dalam forum khusus di
hadapan guru-guru dan ia sendiri sebagai moderatornya. Dari perkembangan
diskusi ia dapat melihat kemampuan murin-muridnya, ada yang menonjol dalam
bidang Nahwu dan Syaraf (Qawa'id)
dan ada yang pandai dalam bidang ilmu tafsir, maka ia tidak menutup kemungkinan
terhadap murid-muridnya untuk menyerahkan kepada Syekh Sulaiman al-Rasuli yang
ahli dalam bidang ilmu qawa'id, Syekh Muhammad Jamil Jaho yang ahli dalam
bidang ilmu tafsir untuk dididik dalam kedua bidang tersebut.
Di sini tergambar
keterbukaannya dalam pengembagan ajaran Islam, ia tidak hanya mengakui
keunggulan yang dimilikinya, akan tetapi ia memberikan kesempatan kepada
murid-muridnya untuk belajar dengan Syekh yang lainnya, karena apa yang
dimiliki oleh Syekh lain tersebut tidak dimilikinya dan sebaliknya, sehingga
ilmu-ilmu murid-muridnya bertambah banyak. Keterbukaan ini akan mengakibatkan
kepercayaan masyarakat kepadanya semakin mendalam dan simpatik.
Di segi lain dapat
dilihat bahwa Syekh Ibrahim Musa berperan sebagai ulama, yaitu orang yang mempunyai
ilmu pengetahuan, mengamalkannya, tampil sebagai panutan bagi masyarakat
lingkungan juga tampil sebagai tokoh teladan serta disegani oleh umat, punya
kharisma, mempunyai keberanian teguh dalam mengeluarkan fatwa-fatwa, tidak
tergoda oleh rayuan dan tidak gentar oleh gertakan (penguasa). Berdasarkan
uraian di atas, ia adalah ulama kharismatik, da’i yang disegani, pendidik yang
panutan, pejuang kemerdekaan yang gigih dan tokoh akomudatif serta tokoh
pemersatu dua kelompok yang berseberangan di Minangkabau, yang mengharumkan
nama Minangkabau di pentas Nasional.