Sabtu, 27 April 2013



Pengaruh Ketokohan Syekh Ibrahim Musa
Dalam Memajukan Parabek
Syekh Ibrahim Musa dilahirkan di Parabek, Bukittinggi pada tahun 1882. Setelah belajar pada beberapa perguruan, pada umur 18 tahun ia berangkat ke Mekah dan belajar di negeri itu selama 8 tahun. Ia kembali ke Minangkabau pada tahun 1909 dan mulai mengajar pada tahun 1912. kemudian ia berangkat lagi ke Mekah pada tahun berikutnya dan kembali pada tahun 1915. Saat itu ia telah mendapat gelar Syekh Ibrahim Musa atau Inyiak Parabek sebagai pengakuan tentang ilmu agamanya.
Ketika kembali ke Minangkabau, Inyiak Parabek mendirikan Sumatera Thawalib di Parabek, Inyiak Karim Amarullah (orang tua Buya Hamka) mendirikan Thawalib di Padang Panjang. Berdirinya Madrasah tahun 1910 dimulai dengan halaqah di Parabek. Lama pendidikannya variatif bahkan ada yang mencapai 11 tahun. Namun sejak tahun 1980 sampai sekarang menjadi 6 tahun. Bedanya, sekarang ada pendidikan Takhashus. Jadi murid Parabek yang telah tamat tapi merasa belum puas dengan ilmunya bisa menambah pendidikan non formal.
Syeikh Ibrahim Musa Parabek sebagai pendidik dan pembangun umat Islam di Minangkabau, beliau tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat antara kaum tradisi di Minangkabau. Di segi lain dapat dilihat bahwa Syeikh Ibrahim Musa berperan sebagai ulama, yaitu orang yang mem­punyai ilmu pengetahuan, mengamalkannya, tampil seba­gai panutan bagi masyarakat lingkungan juga tampil sebagai tokoh teladan serta disegani oleh umat.
Profil Syeikh Ibrahim Musa Parabek sebagai ulama kharismatik, da’i yang disegani, pendidik yang panutan, pejuang kemerdekaan yang gigih dan tokoh akomudatif serta tokoh pemersatu dua kelompok yang berseberangan di Minangkabau, yang mengharumkan nama Minangkabau di pentas Nasional.
serangkai pembaharu dan pembangun Islam pertama di Minangkabau yaitu Syekh Muhammad Djamil Jambek (1860), Haji Abdullah Ahmad (1878) dan Syekh Abdul Karim Amarullah (1879), berbeda dengan ketiga tokoh pembaharu ini, Syekh Ibrahim Musa juga diterima oleh golongan tradisi meskipun ia adalah seorang ulama pendukung pembaharuan bahkan ikut aktif dalam gerakan tersebut.
Ia seorang ulama dan pembaharu yang sangat berjasa dalam pembangunan Islam di Minangkabau. Dalam usaha pembaharuan dan dakwah yang beliau laksanakan, mempunyai prinsip yang mendasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan agama yang beliau tanamkan kepada murid-muridnya, tidak hanya memfokuskan kepada satu mazhab atau satu aliran saja.
“Prinsip dalam mengembangkan pengetahuan agama yang beliau tanamkan kepada murid-muridnya ialah tidak boleh menutup mata pada satu mazhab saja, tapiboleh mengambil yang lain sebagai studi perbandingan, prinsip yang merupakan slogan itu dilukiskan dalam ijazah Sumatera Thawalib, matangkan satu-satu lalu ambil yang lain untuk jadi perbandingan dan jangan menutup diri pada satu mazhab saja.
Selain itu dakwahnya cukup menonjol dalam perubahan sosial dan keagamaan yang cukup mempunyai daya terobos dalam perubahan tingkah laku masyarakat, ini terbukti dalam kegiatan dakwah beliau dalam bentuk pola berintegrasi dalam segala kegiatan-kegiatan masyarakat, yang boleh dipandang sebagai posisi strategi dalam menegakkan dakwah Islamiyah itu, seperti tidak menutup mata terhadap pendidikan jasmani, menggalakkan olahraga bola kaki, badminton dan lain sebagainya, bahkan persatuan olah raga ini langsung beliau pimpin dan sering juara pada tingkat Sumatera Barat pada waktu itu.
Selain kegiatan olah raga juga ia tidak keting­galan dalam gerakan kepanduan/ pramuka Islam yang ia beri nama dengan al-Hilal (bulan sabit) yang bersimbol kacu merah biru berlambang keris terhunus, pandu-pandu ini dikerahkan pada usaha-usaha pertanian yang ha­silnya untuk peningkatan berkoperasi dan perekonomian masyarakat.
Di samping itu pembaharuan dakwah yang ia kembangkan adalah aktif dalam berbagai organisasi, baik organisasi pembaharuan maupun organisasi yang dibentuk oleh kelompok yang tidak menyetujui pemba­haruan terhadap agama. Syekh Ibrahim Musa, selain aktif dalam persatuan Sumatera Thawalib, beliau juga aktif dalam organisasi PGAI organisasi pembaharuan dan ittihad al Ulama, organisasi kaum penentang pemba­haruan, beliau juga pernah menjadi dosen ilmu-ilmu agama di perguruan tinggi PGAI di Padang tahun 1940. Pada tahun 1953 beliau diangkat menjadi Presiden Universitas Darul Hikmah di Bukittinggi, di zaman Jepang beliau ikut menjadi salah seorang pemimpin Majlis Islam Tinggi (MIT). Pada masa revolusi 1945 beliau menjadi Imam Jihad tentara Sabilillah kemudian menjadi Dwi Tunggal Majlis Permusyawaratan Ulama Indonesia bersama Syekh Sulaiman al-Rasuli, seorang tokoh dari kalangan tradisi yang juga murid Ahmad Khatib, jabatannya yang terakhir adalah anggota konstituante hasil pemilihan 1953.
Konsep Syekh Ibrahim Musa Parabek sebagai pendidik dan pembangun umat Islam di Minangkabau, tidak pernah mempermasalahkan perbedaan pendapat antara kaum tradisi di Minangkabau, sehingga Syekh Sulaiman al-Rasuli tokoh kaum tradisi pernah mengatakan bahwa ia dan Syekh Ibrahim Musa adalah sehaluan.
Sebagai guru, Syekh Ibrahim Musa dalam mengha­dapi murid-murid, ia terkenal selalu mengembangkan kreativitas muzakarah/diskusi baik dalam kelas maupun dalam forum khusus di hadapan guru-guru dan ia sendiri sebagai moderatornya. Dari perkembangan diskusi ia dapat melihat kemampuan murin-muridnya, ada yang menonjol dalam bidang Nahwu dan Syaraf (Qawa'id) dan ada yang pandai dalam bidang ilmu tafsir, maka ia tidak menutup ke­mungkinan terhadap murid-muridnya untuk menyerahkan kepada Syekh Sulaiman al-Rasuli yang ahli dalam bidang ilmu qawa'id, Syekh Muhammad Jamil Jaho yang ahli dalam bidang ilmu tafsir untuk dididik dalam kedua bidang tersebut.
Di sini tergambar keterbukaannya dalam pengembagan ajaran Islam, ia tidak hanya mengakui keunggulan yang dimilikinya, akan tetapi ia memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk belajar dengan Syekh yang lainnya, karena apa yang dimiliki oleh Syekh lain tersebut tidak dimilikinya dan sebaliknya, sehingga ilmu-ilmu murid-muridnya bertambah banyak. Keterbukaan ini akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat kepadanya semakin mendalam dan simpatik.
Di segi lain dapat dilihat bahwa Syekh Ibrahim Musa berperan sebagai ulama, yaitu orang yang mem­punyai ilmu pengetahuan, mengamalkannya, tampil seba­gai panutan bagi masyarakat lingkungan juga tampil sebagai tokoh teladan serta disegani oleh umat, punya kharisma, mempunyai keberanian teguh dalam menge­luarkan fatwa-fatwa, tidak tergoda oleh rayuan dan tidak gentar oleh gertakan (penguasa). Berdasarkan uraian di atas, ia adalah ulama kharismatik, da’i yang disegani, pendidik yang panutan, pejuang kemerdekaan yang gigih dan tokoh akomudatif serta tokoh pemersatu dua kelompok yang berseberangan di Minangkabau, yang mengharumkan nama Minangkabau di pentas Nasional.